Halaman

Rabu, 16 April 2014

Tamu dari Jauh




 SALAHSATU kisah natal yang dicatat alkitab ialah tentang para tamu yang datang dari jauh untuk menyambut kelahiran bayi Yesus. Mereka adalah Orang Majus yang kisahnya termuat dalam Matius 2:1-12.

TAMU DARI JAUH
Siapa Orang Majus itu? Tentu mereka bukan orang sembarangan. Dari Injil Matius, kita tahu bahwa tamu dari jauh itu adalah kaum cendikiawan dengan keahlian di bidang astrologi. Mereka pakar dalam ilmu perbintangan dan mampu menafsirkan artinya. Pada masa itu ada kepercayaan bahwa bentuk, ukuran, kadar kegemerlapan,  dan posisi  sebuah bintang merupakan tanda alam tentang suatu peristiwa besar yang terjadi di dunia ini. Bintang yang mereka lihat itu dipercayai sebagai tanda kelahiran seorang raja baru yang sangat istimewa. Oleh karena itulah mereka ingin membuktikannya (ayat 1-2). Ilmu yang mereka miliki ternyata bersesuaian dengan nubuat para nabi yang tertulis dalam kitab keagamaan dan tersimpan di Yerusalem. Hal itu nyata ketika Herodes mengumpulkan semua imam kepala dan ahli Taurat. Menurut mereka, Mesias akan lahir di Betlehem (ayat 4-6).

Bukan itu saja, mereka juga memiliki cukup kekayaan untuk bisa menyediakan waktu sekaligus membiayai perjalanan yang jauh, bahkan memberikan persembahan yang mahal. Cukup beralasan jika kita menduga bahwa mereka adalah raja atau setidaknya kaum bangsawan yang diutus raja untuk membangun persahabatan dengan raja dari bagian dunia lain. Buktinya, mereka dapat leluasa mendatangi istana Herodes di Yerusalem. Bukankah tidak sembarang orang bisa memiliki akses untuk datang ke istana dan berdialog secara langsung dengan sang raja (ayat 7-8)?

Apa tujuan tamu dari jauh itu? Orang Majus datang untuk menyembah Raja yang baru lahir (ayat 2) sekaligus memberi persembahan untuk sang raja (ayat 11). Ada dua sifat  baik yang patut kita teladani. Pertama, kerendahatian mereka yang diwujudkan dengan kesediaan untuk datang dan menyembah Yesus. Mereka menganggap Yesus sebagai Raja dan menunjukkan rasa hormat yang sangat tinggi kepada-Nya. Tindakan Orang Majus ini hendaknya menginspirasi kita  untuk menyatakan hormat dan kemuliaan kepada Yesus. Bukan hanya lewat kata atau lagu, tetapi lewat sikap hidup yang menaati firman-Nya. Kedua, kerelaan mereka untuk berbagi yang diwujudkan dengan pemberian persembahan. Mereka memiliki hati yang rela untuk mengurangi jumlah perbendaharaan harta mereka sebagai persembahan bagi Sang Raja.

Apa saja persembahan yang dibawa Orang Majus? Ayat 11b menyebutkan persembahan itu terdiri dari: emas, kemenyan, dan mur. Secara spesifik, Penginjil Matius menyebutkan hal ini bukan semata hendak menunjukkan ketulusan si pemberi atau nilainya yang tinggi. Penyebutan persembahan tersebut memiliki makna yang rangkap. Pertama, secara spiritual persembahan tersebut menunjukkan penghormatan kepada Yesus, Sang Raja surgawi yang lahir ke dunia. Ia adalah Allah yang berkenosis. Kedua, secara simbolik, kemenyan dan mur merupakan benda-benda yang dipergunakan sebagai kelengkapan ibadah. Kedua benda ini tidak pernah absen digunakan dalam ritual ibadah Israel di Bait Allah. Kemenyan dan mur merupakan persembahan ukupan yang berbau harum dan disukai oleh Tuhan sebagai Raja dari segala raja. Dengan demikian, nilai simbolik dari kedua benda ini melebihi nilai ekonomisnya.  Ketiga, secara sosial, persembahan berupa emas meruapakan sebuah hadiah yang dapat menjadi bekal hidup bagi Maria dan Yusuf. Di kemudian hari, emas yang memiliki nilai ekonomi tinggi dapat dijual untuk memenuhi kebutuhan keluarga Yusuf dalam membesarkan Yesus.

RAJA YANG MEMBUKA DIRI
Judul perikop ini menurut  alkitab terbitan Lembaga Alkitab Indonesia ialah ‘Orang Majus dari Timur’. Tampaknya LAI hendak menggaris-bawahi asal-usul orang Majus yang datang mengunjungi Yesus, yaitu dari belahan dunia bagian Timur, suatu tempat yang jauh. Penekanan tentang asal-usul Orang Majus tersebut didasari pemberitaan Matius yang memposisikan Orang Majus itu sebagai representasi dari sekelompok umat manusia yang tinggal di bagian Timur dunia (Eropa?) jika Israel sebagai titik pusatnya. Intinya, mereka adalah bangsa asing yang bukan bangsa Yahudi. Hal ini hendak menunjukkan kepada pembaca dua hal yang penting. Pertama, kelahiran Yesus begitu istimewa sehingga layak untuk mendapatkan kunjungan, layak untuk disembah dan layak pula untuk menerima persembahan yang bernilai. Kedua, hal ini juga menunjukkan bahwa Yesus sang Raja yang Agung itu membuka Diri-Nya untuk semua orang, baik Yahudi maupun Non Yahudi. Terlebih pada masa itu, ketika orang Yahudi sangat menekankan statusnya sebagai bangsa pilihan Allah. Mereka memonopoli keselamatan seakan-akan hanya untuk mereka, sehingga bangsa-bangsa lain tidak mendapat bagian jika tidak menjadi Yahudi. Di sini, penulis injil Matius membuka wawasan pembacanya bahwa Allah menyediakan keselamatan untuk semua bangsa.

Jelaslah bahwa Yesus adalah Raja yang layak disembah dan menerima persembahan. Ia adalah Sang Mesias untuk mereka yang dekat dan bagi mereka yang jauh. Kelahiran-Nya merupakan penggenapan nubuat nabi Yesaya yang juga dikutip dalam Matius 2:6, “Dan engkau hai Betlehem, tanah Yehuda, engkau bukanlah yang terkecil diantara mereka yang memerintah Yehuda, karena daripadamulah akan bangkit seorang pemimpin yang akan menggembalakan umat-Ku, Israel.”

TAMU JAUH ABAD INI
Secara biologis, kita bukanlah orang Yahudi. Menurut kacamata itu, kita juga adalah tamu dari jauh. Lantas, apakah kita akan berkecil hati? Tidak! Sejatinya, Ia hadir bagi dunia sebagaimana ditulis oleh Yohanes, “Karena demikian besar Allah mengasihi dunia ini, sehingga Ia mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan berleh hidup yang kekal” (3:16). Jelas bahwa Allah menyediakan keselamatan bagi dunia ini melalui Anak-Nya. Siapapun yang beriman kepada-Nya, termasuk Anda dan saya, dapat memperoleh keselamatan universal yang dibawa oleh Sang Putera Allah itu.

Apa yang harus kita perbuat? Pertanyaan ini amat relevan, kususnya dalam suasana Natal seperti saat-saat ini. Setidaknya ada dua jawab atas pertanyaan itu. Pertama, bercermin pada sikap Orang Majus, kita pun patut mengakui bayi Yesus sebagai Raja yang baru lahir dengan membaktikan diri dalam iman kepada-Nya. Jangan takut ditolak sekalipun kita bukan cendikiawan. Kedua, selain datang untuk menyembah, Orang Majus juga memberikan persembahan berupa emas, kemenyan dan mur.  Tindakan orang Majus ini hendaknya menginspirasi kita untuk mengelola setiap berkat Tuhan, bagi diri sendiri sekaligus bagi sesama yang membutuhkan, dan utamanya ialah bagi kemuliaan nama Tuhan.  Jangan kuatir disisihkan meskipun kita tidak sanggup memberi emas atau benda berharga.

Natal memang berisi kegembiraan bagi kita. Yesus telah lahir dan menyelamatkan kita dari hukuman maut akibat dosa, dan Ia berjanji datang kembali untuk memberi kehidupan abadi. Lebih dari itu, Natal sepatutnya adalah ekspresi sikap hormat kepada Yesus yang diwujudkan dengan kerendahatian untuk menyembah sekaligus kerelaan untuk mempersembahkan. Selamat Natal 2013 dan Tahun Baru 2014. Tuhan memberkati. (ut)

Tabah Melangkah, dengan Semangat Paskah



HALO, rekan muda. Selamat jumpa di buletin Pemuda GKI Pengadilan. Apa kabar kalian? Semoga sehat, penuh sukacita dan mengalami banyak berkat. Pada saat menjelang Paskah tahun 2014 ini kita akan mengulas soal semangat menjalani kehidupan, khususnya ketika menghadapi tantangan dan pergumulan. 


Ada yang mengatakan bahwa hidup ini seperti gelombang. Perjalanan hidup manusia pada umumnya diwarnai dinamika antara sukses dan gagal, gembira dan sedih. Banyak orang, tentu ingin bahwa segalanya baik tanpa rintangan. Jujur saja, kita pun demikian. Tapi hanya sedikit orang saja yang mungkin bisa mengalami kehidupan serba lancar. Suka atau tidak, naik-turunnya siklus hidup sudah menjadi realitas yang tak terbantahkan. 

Berikut adalah beberapa kondisi yang potensial terjadi dalam kehidupan anak muda. Pertama, tidak selamanya nilai-nilai ujian kita baik sekalipun sudah belajar habis-habisan. Sesekali, lantaran berbagai sebab, kita bisa mendapatkan nilai yang jeblok. Ironisnya, hal itu bisa terjadi pada salahsatu teman kita yang berpredikat sebagai kutu buku

Bagi kalian yang sudah berpacaran, mungkin hal kedua ini pernah menjadi pengalaman hidup yang otentik. Tidak selamanya masa pacaran kita diwarnai dengan kebersamaan yang indah. Ada kalanya, kita menghadapi hari-hari yang membuat hati dongkol, bahkan panas, karena ulah sang pacar yang bikin kesal. Kalau sudah begitu, canda dan tawa berubah menjadi adu argumen yang sengit, atau perang dingin alias saling diam seribu bahasa. Berikutnya, yang ketiga, tidak selamanya saku kita penuh dengan uang untuk membeli berbagai kebutuhan dan mentraktir teman atau si doi. Suatu waktu, ketika transferan dari ortu terlambat, kita merasakan kesulitan untuk hidup di tanah rantau karena isi dompet begitu tipis. Dan yang paling menyesakkan hati adalah situasi keempat berikut ini. Tidak selamanya hubungan kita dengan teman-teman berjalan mulus layaknya sahabat. Bisa terjadi, salahsatu teman kita bermetamorfosa menjadi monster yang menusuk dari belakang. Betapa sakitnya, hati kita ketika dihianati oleh teman sendiri. Keadaan pasang-surut seperti di atas, dapat terjadi pada pria atau wanita, orang muda dan orang dewasa.

Bagaimana perasaan kita menghadapi pasang-surutnya kehidupan? Pada umumnya orang merasa senang saat berada di masa jaya, dan mengalami perasaan galau ketika pergumulan hidup melanda. Tidak jarang orang menjadi lemah, lesu dan tak bergairah. Semangat muda yang biasanya menggebu-gebu menjadi melempem seperti kerupuk tercelup ke kuah bakso. Tubuh yang biasanya sehat dan bugar mendadak ngedrop. Belajar ogah, istirahat dan membersihkan badan pun malas. Bahkan situasi seperti itu bisa berdampak pada melorotnya iman dalam hubungan dengan Tuhan. Kita merasa bahwa Tuhan tidak sayang lagi pada kita. Ia membiarkan kita mengalami penderitaan hidup. Lalu kita menarik diri dari pelayanan. Dengan berbagai alasan, kita minta off. Bukan itu saja, kita bahkan undur dari persekutuan ibadah. Kita ngambek pada Tuhan. Wah, wah, wah. Kalau sudah begini, urusannya menjadi makin runyam.

Sobat muda, jika kita sedang mengalami pergumulan yang dahsyat. Jika kita merasa hidup ini seperti sedang berada di dasar jurang yang dalam. Kita merasa menjadi orang yang paling malang di dunia karena belum juga dapet pekerjaan, atau karena masih terus menjomblo, atau karena menderita sakit secara fisik. Sebagai orang beriman, bagaimana seharusnya kita bersikap?

Nasihat poluler di kalangan pemuda ialah move on. Artinya, jangan larut dalam kesedihan. Segera bangkit dan jalani hidup dengan melihat ke depan. Saya setuju. Para pakar dan motivator juga sepakat. Menurut mereka, “Seseorang dikatakan sukses bukan karena ia tak pernah gagal, tetapi karena ia selalu siap untuk bangkit ketika sedang mengalami kejatuhan.” Wow. Sebenarnya, itu bukan barang baru. Kita pernah mengalaminya waktu lalu. Ingatlah kembali saat kita mulai belajar jalan. Papa-Mama pasti pernah cerita bahwa kita sering jatuh. Tapi kita tidak peduli dengan rasa sakit, kita berdiri lagi dan tak pernah berhenti mencoba, sampai kita bisa berjalan dengan seimbang. Ingatlah kembali saat kita mulai naik sepeda. Berapa kali kita terjatuh? Adakah kita mengeluh? Itu yang membuat kita mahir mengendari motor. Betapa hebatnya diri kita, bukan? Keren!

Ketika Jemaat Korintus mengalami kelesuan, Paulus membangkitkan semangat mereka agar bertahan dan menang. Dalam I Korintus 15:58a, sang rasul menuliskan, “Karena itu, saudara-saudaraku yang kekasih, berdirilah teguh, jangan goyah, dan giatlah selalu dalam pekerjaan Tuhan! ...” Mengingat keadaan mendesak, Paulus tak bisa menunggu sampai ia berkunjung ke Korintus. Ia segera menangani masalah dengan menulis surat. Di akhir suratnya, ia mengatakan, “Hal-hal lain akan diatur pada waktu aku datang.”  Pergumulan hidup harus segera diselesaikan dan tidak boleh ditunda-tunda. Jika dibiarkan berlarut-larut maka kegalauan hati dan perasaan akan bertambah sulit untuk diurai. Prinsip yang digunakan Paulus ini sangat baik dan masih relevan sampai kini.

Perhatikanlah 1 Korintus 15:58b: “...Sebab kamu tahu, bahwa dalam persekutuan dengan Tuhan jerih payahmu tidak sia-sia.” Selain memberi semangat, Paulus mengajak kita melibatkan Tuhan. Sebelum Paulus, dalam Matius 11:28 Yesus telah menyatakan hal senada, “Marilah semua yang letih, lesu, berbeban berat. Aku hendak memberi kelegaan kepadamu.” Kalau Paulus memberi semangat, Yesus langsung mengundang orang yang berkesusahan. Ketika mengalami kejatuhan, kegagalan, benturan relasi, atau lainnya, tentu kita tak ingin makin terpuruk. Sulit bagi kita hanya dengan mengandalkan kekuatan sendiri, apalagi bersikap masa bodoh dan lari dari kenyataan. Mengharap bantuan pihak lain memang baik, tapi pada titik tertentu kemampuan manusia terbatas. Sebagai umat beriman, kita juga tidak mungkin mencari pertolongan dari kuasa-kuasa lain! Hanya satu hal yang bisa kita lakukan untuk bangkit dan menang, yaitu merespons panggilan Yesus untuk datang kepada-Nya.

Pada masa menjelang Paskah ini baiklah kita mendengar gema kemenangan Kristus yang telah bangkit dari kematian. Apa yang dikatakan Paulus? Dalam 1 Korintus 15:55-57, sang rasul mengutip berita nabi Hosea (13:14), “Maut telah ditelan dalam kemenangan. Hai maut di manakah kemenanganmu? Hai maut, di manakah sengatmu?” Selanjutnya, Paulus menambahkan, “Sengat maut ialah dosa dan kuasa dosa ialah hukum Taurat. Tetapi syukur kepada Allah yang telah memberikan kepada kita kemenangan oleh Yesus Kristus Tuhan kita”. Dengan mengutip pernyataan nabi Hosea, Paulus hendak mengatakan bahwa nubuatan itu telah digenapi oleh Kristus yang tersalib, mati dan bangkit. Paulus menggemakan hal itu kepada jemaat di kota Korintus untuk menguatkan iman mereka. Dan kini, bagi kita juga. Selamat Paskah, Tuhan memberkati.


Bogor, Prapaskah 2014