Halaman

Jumat, 26 April 2013

[SBS-Net; 24 Maret 2013] "Selamat Datang, Penatua Baru"


Kisah Para Rasul 6:1-7

 24 Maret 1940 merupakan tanggal lahir GKI Djawa Barat. Waktu itu gereja-gereja Tiong Hoa di Djawa Barat mendirikan Thay Hwee (sinode) sebagai sebuah perhimpunan gereja-gereja Tiong Hoa di Djawa Barat. Dengan diikrarkannya penyatuan tiga Sinode GKI (Jabar, Jateng, Jatim) pada tahun 26 Agustus 1988 maka Sinode GKI Jabar menjadi Sinode Wilayah Jabar.

Pada 24 Maret tahun ini, GKI SW Jabar telah mencapai usia 73 tahun. Untuk menandai peringatan hari ulang tahun tersebut, di lingkup Sinode Wilayah Jawa Barat, dalam kebaktian Minggu 24 Maret 2013, secara serentak  dilayankan Peneguhan Penatua periode April 2013 sampai Maret 2016.

Mengawali langkah dalam periode pelayanan baru, saya mengajak kita sekalian melihat pengalaman gereja perdana yang tertera dalam Kisah Para Rasul 6:1-7. 

PERTUMBUHAN ANGGOTA DAN TANTANGAN GEREJA
Dua bentuk layanan gereja perdana ialah pemberitaan injil dan pelayanan meja berupa pembagian kepada janda-janda. Melayani sesama yang butuh pertolongan merupakan bagian dari hukum Tuhan yang tidak kalah penting dibanding dengan pemberitaan injil. Tuhan Yesus pernah mengatakan, “orang miskin akan selalu ada padamu.” Mereka adalah anak yatim piatu, para janda atau orang asing yang mengembara dan yang membutuhkan pertolongan (Yes 1:16-17). Adapun yang dimaksud janda adalah mereka yang usianya tidak kurang dari 60 tahun, hanya sekali bersuami, tidak mempunyai anak atau keluarga, dan hidupnya bergantung penuh pada Allah (Tim 5:3-16).

Ketika jumlah murid Kristus bertambah, timbulah sungut-sungut diantara orang-orang Yahudi berbahasa Yunani terhadap orang-orang Ibrani karena pembagian kepada janda-janda mereka diabaikan dalam pelayanan sehari-hari. Pertumbuhan gereja secara kuantitas ternyata diiringi persoalan penatalayanan. Solusi apa yang ditempuh para rasul terhadap fenomena itu?

PENATUA DIPILIH UNTUK MENJAWAB TANTANGAN PELAYANAN
Tidak meratanya pelayanan membuat sebagian anggota merasa kurang diperhatikan. Sementara itu, para rasul juga tidak bisa menggunakan waktu dan tenaga untuk terus melayani mereka, karena pasti menghambat pemberitaan injil. Situasi ini mendorong keduabelas rasul mengumpulkan para murid untuk memilih tujuh orang yang dapat dipercaya melayani orang miskin. Oleh karena itulah LAI memberi judul “Tujuh orang dipilih untuk melayani orang miskin”.

Para rasul memberi panduan bagi jemaat dalam memilih. Calon hendaknya memiliki tiga syarat, yakni: pribadi yang dikenal baik, penuh Roh dan berhikmat. Setelah seluruh jemaat menerima usul itu, mereka memilih: Stefanus yang penuh iman dan Roh Kudus, Filipus, Prokhorus, Nikanor, Timon, Parmenas, dan Nikolaus,  seorang penganut agama Yahudi dari Antiokia. Kemudian mereka menghadapkan ketujuh orang itu kepada para rasul untuk didoakan serta mendapatkan penumpangan tangan. Hal itu merupakan tanda pengesahan jabatan sekaligus pencurahan berkat.

Dengan ditetapkannya tujuh orang ini maka para rasul fokus pada tugas pemberitaan injil. Pada sisi lain, keterlibatan para penatua dalam pelayanan gereja ternyata sangat luar biasa. Pertama, para rasul dapat berkarya dengan leluasa sehingga Firman Allah makin tersebar. Kedua, jumlah murid di Yerusalem makin bertambah banyak. Ketiga, ada sejumlah besar imam yang menyerahkan diri dan percaya. Keempat, secara implisit, persoalan pelayanan meja yang dilakukan sehari-hari berupa pembagian kepada janda-janda juga dapat merata tanpa pembedaan. Dengan begitu, tidak lagi ada sungut-sungut sehingga kehidupan berjemaat pun berjalan tenteram dan damai.

KETERLIBATAN JEMAAT DALAM PROSES PEMILIHAN PENATUA
Berdasar pengalaman gereja perdana di atas, kita dapat merefleksikan beberapa hal sebagai berikut. Pertumbuhan gereja adalah fakta yang patut disyukuri, sekaligus dikelola. Jemaat-jemaat GKI umumnya berlokasi di kota, sehingga mengalami pertumbuhan pesat karena banyak kaum urban yang menggabungkan diri menjadi anggota. Anggota jemaat dan masyarakat memiliki ekspektasi tinggi terhadap kinerja pelayanan gereja, yakni pelayanan yang prima, merata dan tidak membedakan. Penatua dipilih untuk menjawab tantangan pelayanan agar para pendeta dapat fokus pada pelayanan pemberitaan Injil. Meski Majelis Jemaat memiliki peran penting sebagaimana diatur oleh Tata Gereja, namun keterlibatan jemaat juga diperlukan proses pengambilan keputusan, utamanya untuk hal penting dan mendasar. Dapat dikatakan bahwa kekuatan gereja adalah pada jemaatnya. Pemimpin gereja sejati ialah mereka yang tidak mengabaikan anggota jemaatnya.

Bagaimana proses pemilihan penatua di GKI? Pemilihan Penatua di GKI melalui proses panjang dalam doa dan pergumulan bersama Tuhan serta melibatkan penatua maupun jemaat. (a) Majelis Jemaat membentuk Panitia Pemilihan Personalia  yang anggotanya terdiri dari penatua yang akan habis masa jabatannya agar tidak menimbulkan vested of interest. (b) Anggota jemaat diberi kesempatan untuk mengusulkan nama-nama Calon Penatua. (c) Panitia menyeleksi  nama calon yang diusulkan secara administratif keanggotaan, kemampuan, maupun teladan hidupnya. (d) Hasil seleksi panitia ditimbang kembali oleh rapat Majelis Jemaat (e) Setelah diputuskan oleh Majelis Jemaat, para calon dikunjungi untuk diminta kesediaannya. (f) Nama calon yang sudah menyatakan kesediaan diwartakan untuk didukung dan didoakan oleh jemaat. (g) Calon yang didukung jemaat dilengkapi dengan pembinaan-pembinaan. (h) Setelah melalui semua proses tersebut, Calon diteguhkan sebagai Penatua dan memulai pelayanannya.

Sekalipun demikian dalam kenyataannya hal itu tidak bisa dikatakan sebagai sesuatu yang sempurna. Sesekali ada juga penatua yang tidak bisa menjalankan peran dan fungsi sebagaimana diharapkan. Namun setidaknya proses pemilihan penatua di GKI diyakini sebagai upaya yang sudah melibatkan Tuhan dan jemaat-Nya.

SELAMAT DATANG DAN SELAMAT MELAYANI
Jabatan Gerejawi adalah Pelayanan. Dengan demikian, Pejabat Gerejawi adalah seorang Pelayan (bukan Pejabat apalagi Penguasa). Dalam pemahaman GKI, pejabat gerejawi adalah Majelis Jemaat yang terdiri dari Pendeta dan Penatua. Khusus di Klasis Priangan, dilakukan pembedaan antara Penatua yang menangani pengajaran dan Penatua yang menangani kepelayanan (Diaken). Para pejabat gerejawi juga dipandang sebagai pemimpin yang melayani.

Dengan diteguhkannya para penatua maka pendeta dapat lebih leluasa melayankan firman. Untuk itu, tiap penatua patut mengarahkan diri pada Kristus dan meneladani sikap-Nya.  Keterlibatan penatua dalam pelayanan gereja diharapkan dapat menjawab pergumulan dan tantangan gereja secara organisasi, management, penatalayanan keuangan, maupun pelayanan langsung kepada anggota jemaat yang membutuhkan. Jika itu terjalin dengan pemberitaan firman yang dilakukan pendeta, niscaya pelayanan kasih kepada anggota jemaat maupun kepada masyarakat dapat berjalan serentak, merata dan tanpa pembedaan.

Teriring ucapan “Selamat Datang dan Selamat Melayani” bagi para penatua yang diteguhkan pada tanggal 24 Maret 2013, baik bagi saudara-saudara yang diteguhkan untuk periode pertama maupun saudara-saudara yang melanjutkan pelayanan pada periode kedua, dst.  Selamat karena anda dipandang sebagai pribadi yang baik, hidup dalam ketaatan kepada Tuhan Yesus serta pimpinan Roh Kudus, dan memiliki hikmat. Seiring dengan itu, juga disampaikan penghargaan serta ucapan “Terima Kasih” kepada para penatua yang akan mengakhiri pelayanan pada 31 Maret 2013. Soli Deo Gloria. Segala kemuliaan hanya bagi Tuhan!
Pdt. Ujang Tanusaputra
GEREJA KRISTEN INDONESIA
Jl. Pengadilan 35 - Bogor


Catatan:
Posting ini telah diterbitkan di SBS-Net (Selisip Berita Sinode Net) tanggal 24 Maret 2013
Lihat naskah PDF di sini!

Si Bunga Melati

Bakal Pos Jemaat GKI Taman Yasmin
16 Januari 2011

PERGANTIAN nama merupakan fenomena yang umum terjadi dalam masyarakat kita. Dalam dunia hiburan, penyanyi pemula dari desa diganti namanya biar keluar aura hoki-nya dan menjadi populer. Dalam dunia waria, seseorang yang siang hari bernama Toto, kalau malam berganti menjadi Titi.

Nama bukan hanya memiliki arti, tetapi juga mengandung pengharapan tertentu. Seorang ayah  menamai anaknya Subakti dengan pengharapan agar si anak kelak menjadi orang yang dapat berbakti kepada orang tuanya. Jika terjadi sesuatu dalam kepribadian atau peruntungan dalam diri seorang anak, maka lazim pula terjadi penggantian untuk melakukan penyesuaian. Anak yang sakit-sakitan diganti namanya menjadi ‘Bejo’ atau ‘Selamet’, atau pemuda yang stress karena ‘keaboten jeneng’ diganti namanya menjadi lebih merakyat. 

William Skakespeare pujangga Inggris abad XVI pernah mengatakan, ‘What is in a name?’ Arti apa yang ada dalam sebuah nama? Setangkai mawar, tetap mempesona, apapun namanya. Setangkai mawar akan menghipnotis kita terbang ke mahligai cinta. Skakespeare bukan hendak menisbikan makna sebuah nama tetapi ia hendak mengatakan bahwa sebuah nama memiliki ‘greget’ yang menyatu dengan sesuatu yang dinamainya itu.

Injil Yohanes 1:29-42 memuat dua kesaksian Yohanes Pembaptis tentang Yesus yang terjadi sehari setelah Yohanes membaptiskan-Nya. Jadi peristiwa itu masih segar dalam ingatan Yohanes. Peristiwa kedua terjadi keesokan harinya, mengisahkan tentang dua orang murid Yohanes meninggalkannya dan mengikut Yesus. Lalu, Andreas (salah satu dari dua murid Yohanes) mengajak Simon untuk mengikut Yesus pula. Kejadian yang berturut-turut ini menunjukkan dinamika pemilihan Illahi yang amat cepat. Selanjutnya Yesus menatap Simon dan mengganti namanya. Setiap penggantian nama pasti punya makna. 

Lalu apa makna nama baru Simon? Penggantian nama Simon bukan sekadar inisiasi atau tanda penerimaan dirinya menjadi murid Yesus. Sebab tidak semua murid Yesus yang 12 itu mengalami pergantian nama. Penggantian nama Simon tentu mempunyai maksud khusus. Dalam percakapan sehari-hari, Yesus menggunakan bahasa Aram. Ia mengganti nama Simon dengan nama Aramik, yaitu Kefas. Padanan arti Kefas dalam bahasa Yunani ialah Petrus. Artinya batu (batu karang). Dalam Injil Matius 16:18 penggantian nama Simon ini disertai penjelasan khusus. Di sana Yesus mengatakan, ‘Di atas batu karang ini, akan kudirikan jemaat-Ku’. Jatidiri Petrus dibentuk oleh Yesus selama kurang lebih tiga tahun lamanya. Dalam kurun waktu itu pribadi Petrus menjadi lebih tegar seperti batu karang. 

Menurut Skakespeare apapun namanya, orangnya tetap Simon. Tetapi Nama ‘Kefas’ atau ‘Petrus’ yang melekat pada seorang Simon telah memberi ‘greget’ baru dalam dirinya. Bagaimanakah greget dari pergantian nama Simon menjadi Kefas atau Petrus? Kisah Para Rasul 2 mencatat peristiwa di hari Pentakosta. Ketika Petrus berkhotbah ada 3.000 orang bertobat dan jemaat Kristus yang pertama pun lahir. Ucapan Yesus terlah terbukti. Simon telah menjadi Petrus, si batu karang.

Saudara, Tuhan ingin kita menjadi bagian dari rencana-Nya untuk menyatakan damai sejahtera (syalom) bagi umat manusia dan dunia. Ia mempersiapkan kita sejak semula, bahkan ketika kita masih dalam kandungan. Tiap pengalaman hidup makin menambah intensitas perjumpaan kita dengan Dia. Maukah kita dipanggil, dibentuk dan diutus oleh Tuhan?

Minggu ini tanggal 16 Januari 2011 kita beribadah di gedung Harmony. Ini adalah sebuah kesempatan khusus untuk menenangkan gejolak situasi sebulan terakhir. 19 Desember 2010 kita beribadah untuk pertama kalinya di dalam gedung. 20 Desember 2010 pagar kembali disegel. 25 Desember 2010 kita menyelenggarakan malam refleksi Natal dan penyalaan lilin di trotoar, nyaris berhimpitan dengan orang-orang yang menentang pendirian gereja. 26 Desember 2010, sepanjang jalan Abdulah bin Nuh disterilkan aparat. Jemaat terhimpun dalam dua kelompok di ujung-ujung batas lokasi yang disterilkan aparat. Kali itu kita hanya sempat berdoa singkat dikelilingi pagar betis polisi. 02 Januari 2011 situasi masih belum jelas. 09 Januari 2011 samasekali tidak beribadah. Kamis 13 Januari 2011 kita memperoleh kepastian keputusan Mahkaamah Agung yang menolak PK Pemda kota Bogor. Artinya, persoalan hukum telah tuntas.

Deretan peristiwa di hari-hari tersebut adalah bagian dari perjuangan kita mewujudkan pendirian gereja sebagai tempat untuk beribadah. Apakah nama gereja kita? Sesuai dengan tradisi GKI nama tiap jemaat dikaitkan dengan nama jalan atau sebuah kompleks di mana jemaat tersebut berlokasi. Jemaat kita, sekalipun belum diresmikian, tetapi sudah dikenal dengan sebutan GKI Taman Yasmin.

Mendengar kata Yasmin, ingatan saya tertuju pada dua hal. Pertama, Yasmin mengingatkan kita pada sosok putri cantik. Dalam kisah 1001 malam, sang putri berjodoh dengan pemuda tampan bernama Aladin. Menjadi pribadi yang cantik merupakan dambaan banyak perempuan. Mereka tak segan mengeluarkan biaya untuk membeli alat make-up dan menghabiskan waktu untuk berdandan di depan cermin. Semua orang ingin agar kecantikan itu bertahan dalam kurun waktu yang lama. Kalaupun tidak bisa melawan proses agging, maka setidaknya bisa dipertahankan sedikit lebih lama. Bagaimanapun kecantikan merupakan daya tarik yang memikat. Saya mengharapkan jemaat GKI Taman Yasmin menjadi gereja yang cantik agar memikat banyak orang untuk datang dan berbakti kepada Tuhan. Dan kecantikan ini bukan kecantikan sesaat tetapi harus dijaga kelanggengannya. Adik-adik dan generasi muda perlu menjaga dan merawatnya dan melanjutkan di masa yang akan datang.

Kedua, mendengar kata Yasmin ingatan kita juga langsung tertuju pada bunga melati. Setidaknya bunga itu memiliki tiga karakteristik, yaitu kecil, putih, dan harum. Sebagai GKI Taman Yasimin, kita juga perlu memiliki ketiga karakteristik tersebut. Dr. E. F. Schumacher pakar ekonomi asal Jerman pelopor pengembangan dunia ketiga, mengatakan, ‘Small is beautifull’. Sesuatu yang kecil itu indah adanya. Kita memang kecil. Bila dibandingkan dengan jemaat yang lain, kita tidak ada apa-apanya. Tapi kehadiran gereja Tuhan di muka bumi ini bukan untuk dibandingkan sekalipun harus saling bersandingan. Sekalipun kita kecil, kita harus memiliki jatidiri yang kuat seperti batu karang. Kita sekalian harus berupaya memancarkan karakteristik ‘Kefas’ atau ‘Petrus’. Sekalipun kecil, tetapi tangguh!

Pada umumnya, bunga melati berwarna putih. Putih tidak hanya terlihat bersih dan indah tetapi juga merupakan simbolisasi dari kebenaran atau kejujuran. Kita mahfum terhadap pemaknaan universal yang diberikan kepada warna bendera Indonesia. Merah putih dipahami sebagai berani karena benar. Dalam hal apapun kita perlu menyatakan kebenaran dan menjunjung kejujuran. Para praktisi peradilan mempunyai jargon ‘sekalipun langit runtuh, kebenaran harus ditegakkan!’ Sebagai pengikut Kristus, kita menegakkan kebenaran karena Dia adalah Sang Jalan Kebanaran dan Hidup.

Karakteristik lain dari bunga melati ialah menebarkan keharuman yang semerbak mewangi. Karena keharuannya bunga Yasmin disukai orang. Saya berharap kelak GKI Taman Yasmin dalam pelayanan dan kesaksiannya mampu menebarkan keharuman bagi sesama jemaat, masyarakat sekitar bahkan menjangkau kawasan yang lebih luas. Hendaknya keharuman itu membuat banyak orang menyukainya, hingga pada puncaknya semua orang akan memuliakan nama Tuhan.

Saudara-saudara jemaat, kita masing-masing punya nama. Saya mengajak saudara sekalian untuk menanyakan apakah arti nama Anda masing-masing? Apapun nama kita, marilah menyerahkan diri untuk merespons panggilan Tuhan dan bersedia dibentuk serta diutus oleh-Nya. Seperti Simon dibentuk menjadi Petrus yang tegar. Sebagai anggota jemaat gereja Yasmin, sekalipun kecil, kita tetap berupaya untuk menyatakan kebenaran dan menebarkan keharuman! Amin.
Pdt. U. T. Saputra

Kamis, 25 April 2013

TAAT yang tidak BUTA

Kisah Para Rasul 9:1-18
Pemuda GKI Pengadilan
21 April 2013

SEORANG  filsuf mengatakan, “Jangan gembira sebelum wafat!” Mengapa? Karena segala sesuatu bisa berubah. Memang, segala sesuatu di dunia ini selalu berubah, kecuali satu hal. Ya, hanya ada satu hal yang tidak pernah berubah, yaitu kenyataan bahwa segala sesuatu berubah. Dalam setiap perubahan, selalu berkaitan dengan tiga hal,  yaitu: input, proses, output.

Secara formal, kampus sering disebut sebagai agent of change. Para lulusan SMA yang bukan siapa-siapa, setelah beberapa tahun mengalami proses belajar-mengajar, keluar sebagai seorang insinyur, dokter, ekonom, atau sarjana di bidang lainnya. Bagaimana dalam konteks yang informal? Seseorang yang masuk dalam sebuah pergaulan pasti akan mengalami perubahan, entah baik atau buruk. Sepasang pemuda dan pemudi yang berpacaran juga bisa mengalami pengaruh dari proses interaksi antara satu dengan lainnya. Sang pemuda, sedikit-banyak akan terpengaruh oleh gadis pujaannya; demikian pula sang gadis pun akan mengalami hal serupa.

Saulus adalah seorang penganut agama Yahudi yang taat. Sayangnya, ketaatan Saulus kepada agama Yahudi adalah ketaatan yang buta (fanatik). Dalam perjumpaannya dengan Kristus,  ia mengalami perubahan secara radikal. Karena kefanatikannya, Saulus mau membasmi siapa saja yang tidak lagi setia kepada agama Yahudi. Dengan legitimasi imam di Yerusalem, Saulus  mengejar-ngejar para pengikut Kristus dan tak segan menindas bahkan membunuhnya. Kali itu, Saulus meminta surat kuasa untuk membasmi umat Kristen di Damsyik. Namun hal itulah yang membawanya pada perjumpaan dengan Kristus.

Dalam perjalanan Saulus menuju Damsyik, Yesus menjumpainya dalam kemilau cahaya yang menyilaukan. “Siapakah engkau, Tuhan?” teriak Saulus ketika dirinya tersungkur. Dan ia pun mendengar Yesus menjawab, “Akulah Yesus yang engkau aniaya!”.  Saulus pun mengalami kebutaan temporer. Namun Yesus menyuruhnya masuk ke kota dan berjanji untuk memberitahukan hal yang harus dilakukan Saulus. Dituntun kawan seperjalanan, Saulus masuk kota dan menumpang di rumah Yudas di Jalan Lurus. Tiga hari Saulus tidak makan atau minum dan ia giat berdoa.

Pada saat yang bersamaan, Yesus meminta Ananias menjadi mitra untuk menyembuhkan Paulus. Mulanya Ananias menampik karena ia mengetahui reputasi Saulus yang begitu jahat. Tetapi Yesus menyatakan bahwa Ia telah memilih Saulus untuk berkarya di hadapan para raja, menjangkau bangsa-bangsa, tanpa melupakan umat Israel. Setelah mendengarkan maksud Allah yang  maha dahsyat itu, Ananias pun bersedia dipakai untuk melayani Saulus. Ia menuju rumah Yudas dan melakukan ritus penumpangan tangan. Alhasil, Saulus dapat melihat kembali dan dibaptiskan. Setelah mengalami perubahan, Saulus berganti nama menjadi Paulus. Maka rumusnya S + Y = P.
Perjumpaan dengan Tuhan mengubah Saulus dan Ananias menjadi pribadi berkarakter pelayan. Proses yang mereka alami tak semudah membalik telapak tangan. Sebagai pemimpin yang biasanya memberi komando, Saulus justru harus dituntun dan bergantung kepada kawan-kawan seperjalanan.  Selama tiga hari, ia mengalami kebutaan. Selama itu pula ia tidak makan (puasa) dan terus berdoa. Kepada Ananias, Yesus mengatakan bahwa Saulus akan mengalami banyak penderitaan ketika menjalankan tugas-Nya. Dengan berbagai pergumulan Saulus  mengalami proses perubahan. Bukan hanya Saulus, Ananias pun mengalaminya. Setidaknya, ia harus membuang kebencian terhadap Saulus dan berjuang melawan rasa takut ketika menghadapinya. Selain itu, Ananias juga harus berusaha merendahkan hati sehingga mampu melayani Saulus yang diangapnya ‘musuh’. 

Sebagaimana Saulus dan Ananias, kita juga patut mengembangkan spiritualitas yang taat pada Kristus. Dalam ketaatan itulah, Ia memproses kita. Mungkin saja kita mengalami berbagai pergumulan, sama seperti tanah liat yang sedang dibentuk oleh tukang penjunan.Demikian pula sebagai pemuda, kita juga adalah agen perubahan bagi sesama dalam lingkup pergaualan. Dalam hal ini peran kita ialah memperjumpakan para sahabat muda dengan Tuhan Yesus agar mereka mengalami perubahan hidup dan menaati Kristus.  Untuk itulah kita tidak menutup diri, tetapi terbuka untuk berteman dengan siapa saja dan meneladankan ketaatan kita kepada-Nya. Mungkin selama ini kita memiliki fanatisme terhadap denominasi gereja kita. Menganggap diri paling benar dalam soal ajaran maupun pemeliharaan tradisi tertentu. Jika demikian, kita harus mengalami proses pembaruan diri untuk melihat yang lain sebagai bagian tak terpisahkan dari gereja Tuhan yang esa dimana Kristus menjadi Kepala.

Dalam konteks Indonesia yang plural ini, para pemuda gereja patut bergaul dengan yang lebih luas di kalangan gereja, gereja-gereja, dan komunitas lintas iman. Tuhan Yesus mengubah sikap Saulus yang pada awalnya memusuhi orang lain yang berbeda, menjadi sikap yang terbuka pada bangsa-bangsa lain. Tuhan Yesus juga mengubah sikap Ananias yang semula pilih-pilih dalam melayani menjadi terbuka untuk  melayani siapapun, bahkan musuh yang paling jahat sekalipun. Saat ini, Tuhan Yesus juga menghendaki kita untuk bergaul dengan siapapun, tanpa membedakan SARA. Selanjutnya, dalam berteman, kita menebar aura positif bagi para sahabat. Dengan demikian kita dapat menyatakan kesaksian melalui keteladanan hidup. Mungkin selama ini kita merasa aman berada dalam lingkungan internal dan merasa tak perlu keluar dari zona nyaman. Jika demikian kita juga harus mengalami proses penyadaran diri bahwa manusia tak adalah makhluk sosial yang tak bisa hidup tanpa berdampingan dengan sesama. Hanya dengan keterbukaan, kita bisa mewujudkan kerukunan hidup berbangsa sekaligus berperanserta bagi kemajuan Indonesia.

Apakah artinya ‘Taat yang tidak buta’? Ia bukan fanatik,  tapi juga tidak larut. Para pemuda dan pemudi Kristen dapat bergaul bebas, namun perlu menguasai diri. Ingatlah bahwa Tuhan mengutus umat-Nya ke dunia sebagai garam dan bukan digarami. Kita bebas untuk berteman dengan siapa saja, tetapi apakah kebebasan itu akan dipakai secara membabi-buta? Ketika menentukan pasangan hidup, misalnya. Cinta memang buta, tetapi pertimbangan yang masak mutlak diperlukan.

Sikap taat yang tidak buta juga menjadi panduan utama bagi pemuda dan pemudi yang berpacaran. Sudahkah kita menjadi pacar yang memberi inspirasi dan semangat kepada kekasih kita? Jika ‘ya’, apakah pengaruh positif itu hanya muncul di awal saja, atau kita nyatakan secara konsisten? Semoga kita menjadi pribadi yang taat dalam keterbukaan. Amin.

Pdt. U.T. Saputra

Dimensi-dimensi Puasa

Matius 6:18-20

Remaja GKI Pengadilan
Minggu 21 April 2013
 

PADA umumnya kita mengenal pasangan terdiri dari dua unsur (dikotomi), misalnya: suami-isteri, laki-perempuan, gelap-terang, baik-buruk, dst. Tetapi ada juga pasangan yang terdiri dari tiga unsur (trikotomi). Misalnya manusia, ada yang memahami bahwa manusia terdiri dari tubuh dan jiwa, tetapi ada juga yang memahami manusia sebagai kesatuan tubuh, jiwa dan roh. Makanan yang kita makan sehari-hari juga terdapat tiga unsur, selain sebagai makanan yang kasat mata dan bersifat netral, di dalamnya juga ada sifat racun dan sifat obat. Dalam pemahaman Budis dikenal Brahma (pencipta), Syiwa (perusak), dan Wisnu (pemelihara). Dalam Kekristenan juga kita mengenal Allah Tritunggal, yaitu kesatuan Bapa (Pencipta), Anak (Penyelamat), dan Roh (Pemelihara). 

Bagaimana dengan Puasa? Puasa memiliki beberapa dimensi. Pertama, secara pribadi, puasa bermanfaat bagi kesehatan. Puasa melatih badan dengan cara mengatur waktu atau porsinya. Kedua, secara sosial, puasa juga melatih kepekaan sosial, merasakan derita sesama yang berkekurangan, timbul empati untuk berbagi dengan sesama yang membutuhkan. Dalam kedua hal tersebut, puasa merupakan sebuah perbuatan baik.

Manusia menghargai puasa sebagai perbuatan baik. Tidak semua orang dapat melaksanakan perbuatan baik, misalnya berpuasa. Orang yang mampu berpuasa tentu dianggap lebih baik daripada yang tidak mampu melakukannya. Yesus menengarai ada orang-orang  yang memanfaatkan fenomena itu sebagai kesempatan untuk mendapatkan kekaguman, sanjungan dan pujian dari sesamanya. Misalnya dengan mengubah air muka supaya orang lain dapat melihat bahwa dirinya sedang berpuasa.

Yesus mengingatkan bahwa puasa bukan hanya bermanfaat bagi diri sendiri maupun dalam perelasian dengan sesama secara  horizontal. Selain itu,  puasa juga memiliki keterkaitan secara vertikal dengan Tuhan. Tuhan yang Mahatahu memberi upah terhadap hal baik yang dilakukan umat-Nya. Oleh karena itu melakukan puasa bukan sekadar lahiriah, apalagi pura-pura. Puasa patut dilakukan dengan sungguh bahkan dengan motivasi yang benar. Jika kita ingin mendapat penghargaan atau pujian atau perkenan Allah Bapa. Dengan demikian, kita melihat dimensi ketiga dari puasa, yaitu dimensi spiritual.

Secara spiritual, puasa melatih kita untuk menahan diri dari hawa nafsu yang umumnya tertuju pada kepuasan batin. Puasa yang demikian adalah buah dari pekerjaan Roh Kudus, yaitu penguasaan diri. Dapat dikatakan bahwa puasa adalah  latihan menuju pertobatan.  Surat I Tim 4:8 mengatakan, “Latihan badani terbatas gunanya, tetapi ibadah bermanfaat dalam segala hal karena mengandung janji baik pada masa kini maupun pada masa yang akan datang.” Oleh karena itu, sekalipun puasa merupakan hal baik dan bermanfaat, namun kita juga perlu memberi makna yang lebih luas sebagai latihan spiritual.

Puasa dalam arti mengendalikan makan dan minum bermanfaat untuk melatih fisik, namun makna puasa bukan sekedar itu, melainkan dapat diperluas. Perluasan makna puasa ialah mengendalikan diri dalam segala hal. Hal ini merupakan salahsatu ujud dari ketaatan kita pada pimpinan Roh Kudus. Jika demikian, pada gilirannya, puasa akan menjadi sebuah latihan rohani atau latihan spiritual yang manfaatnya mencakup kehidupan pada masa kini maupun kehidupan masa datang. Bagi umat beriman, puasa memiliki korelasi dengan ibadah.

Suatu hari, ketika ada seorang yang dirasuk setan, murid-murid Yesus ingin menolong, tetapi mereka tidak dapat mengusir roh jahat itu. Mereka datang kepada Yesus dan bertanya, “Tuhan mengapa kami tidak dapat mengusir setan dalam nama-Mu?” Maka Yesus pun menjawab, “Jenis ini tidak dapat ditaklukkan, kecuali dengan doa dan puasa.”  Firman Tuhan ini mengingatkan kita untuk tak mengabaikan kuasa doa dan puasa dalam kehidupan orang percaya. Maka kita perlu waspada agar tdiak puasa beribadah, tetapi perlu berpuasa supaya dapat beribadah! Bukan puasa berdoa, tetapi berdoa dan berpuasa agar mampu mengalahkan godaan hidup yang bisa memisahkan kita dari kasih Allah.

Hidup bukan sekadar mengejar kesenangan. Bagi kaum remaja, khususnya para pelajar, puasa bisa diwujudkan dengan mengendalikan diri dari memboroskan waktu. Misalnya puasa bermain atau melakukan sesuatu yang memuaskan diri sendiri. Waktu yang berhasil dihemat dapat dialokasikan untuk belajar. Dengan alokasi waktu yang memadai, para pelajar dapat fokus pada tugas utama, khususnya ketika menghadapi Tes Akhir Smester, dan mengikuti Ujian Sekolah atau Ujian Nasional.

Puasa juga dapat diwujudkan dengan mengendalikan diri dalam membelanjakan uang. Misalnya, puasa membeli barang-barang
yang kurang berguna meskipun kita menyukainya. Uang yang berhasil dihemat dapat dapat dialokasikan untuk mewujudkan kepedulian sosial atau dipersembahkan bagi pekerjaan Tuhan. Di sekitar kita maungkin ada teman yang membutuhkan pertolongan, kita dapat menyatakan perhatian dengan memberikan sesuatu kepadanya. Jika bukan teman, dalam masyarakat pasti banyak orang yang hidup di bawah garis kesejahteraan. Uang yang mungkin kecil bagi kita pastinya akan sangat berarti bagi mereka. Selain untuk kepedulian sosial, uang hasil puasa belanja juga dapat dipersembahkan untuk pekerjaan Tuhan yang penggunaannya dikelola oleh gereja. 

Satu hal lagi yang tak boleh kita lupakan, puasa dapat diwujudkan dengan mengendalikan diri dari dosa (Yesaya 1:16-18). Lebih dari sekadar berpuasa, sang nabi meminta umat untuk berhenti berbuat jahat. “Basuhlah, bersihkanlah dirimu dari berbuat jahat di depan mata-Ku.”  Sebagai gantinya, umat diharapkan melakukan hal yang baik. “Berhentilah berbuat jahat, belajarlah berbuat baik, kendalikanlah orang kejam, belalah hak anak yatim, perjuangkanlah perkara janda-janda”. Jika umat berpuasa (bahkan berhenti) berbuat dosa, sang nabi menjamin bahwa umat akan mendapatkan anugerah pengampunan Allah yang tak terbatas: “Sekalipun dosamu merah seperti kirmizi akan menjadi putih seperti salju, sekalipun dosamu merah seperti kain kesumba, akan menjadi putih seperti bulu domba.” Amin. 

Pdt. U T Saputra

Jumat, 19 April 2013

Suara Nabi bagi Ibu Pertiwi

IMAN kepada Allah tumbuh dari pemahaman terhadap sejarah umat-Nya. Sejak awal umat Allah menyatakan iman dengan menyembah dan tunduk pada firman-Nya yang disampaikan para imam. Ketika umat Allah melihat bangsa-bangsa lain memiliki raja, mereka meminta Allah memberi seorang Raja menggantikan peran Imam yang selama itu berbicara atasnama-Nya (I Samuel 8:5). Maka diangkatlah Saul sebagai raja pertama, lalu Saul diganti oleh Daud. Demikian seterusnya, tata kehidupan Theokrasi berubah menjadi Monarkhi. Pengajaran iman ini, menunjukkan bahwa Allah bersikap demokratis.

Di era baru itu, para raja dalam sejarah umat Allah sering gagal dan mengakibatkan keterpurukan bangsa. Maka Allah mengutus nabi-Nya untuk memulihkan keadaan. Tugas nabi dalam Perjanjian Lama ialah menegur kesalahan para raja. Nabi Natan, misalnya, dengan berani menegur Raja Daud atas kesalahan pribadinya (2 Samuel 12:1-12).

Dalam Perjanjian Baru, Yohanes Pembaptis pun dengan lantang menyerukan suara kenabiannya, “Bertobatlah karena kerajaan Allah sudah dekat!” Selain itu, dengan gagah ia menegur kelaliman Raja Herodes. Yohanes tak gentar menyampaikan suara kenabiannya sekalipun ia harus ditangkap dan dipenjarakan (Matius 3:2; 14:3).

Tuhan Yesus menyuarakan kenabian-Nya dengan memperhatikan situasi sosial yang aktual pada masa itu. Ia menegaskan, seorang pemimpin harus memiliki sikap melayani. Jangan seperti para pemimpin dunia yang memerintah dengan tangan besi. Yesus meminta para murid-Nya untuk tidak sok kuasa bila memiliki posisi sebagai pemimpin, di tatar keluarga, dunia usaha maupun di tengah masyarakat. Dalam tatar kehidupan yang lebih luas, siapapun yang menduduki jabatan tak boleh berbuat sewenang-wenang.

Dalam Roma 13:1 Rasul Paulus bicara tentang mandat Allah kepada pemerintah, “Tiap-tiap orang harus takluk kepada pemerintah yang di atasnya, sebab tidak ada pemerintah, yang tidak berasal dari Allah; dan pemerintah-pemerintah yang ada ditetapkan oleh Allah.” Sedang dalam ayat 2, sang rasul memberi peringatan kepada orang yang melawan pemerintah, “Sebab itu barangsiapa melawan pemerintah, ia melawan ketetapan Allah dan siapa yang melakukannya, akan mendatangkan hukuman atas dirinya.” 

Bagaimana sikap gereja dalam berbangsa dan bernegara? Jawabannya menentukan warga gereja untuk memposisikan diri dalam bermasyarakat. Iman Kristen memahami bahwa pemerintah adalah mandat dari Allah. Maka gereja dan warga gereja patut menghormati pemerintah dan menjunjung tinggi undang-undang bahkan wajib melaksanakan. Di sisi lain, ketaatan itu bukan tanpa reserve, melainkan dengan sikap kritis. Siapapun, termasuk warga gereja, terpanggil untuk mengoreksi segala bertentangan dengan undang-undang.

Sikap Kristiani di atas selaras dengan UUD 1945 yang dalam pembukaannya menyatakan bahwa kemerdekaan Indonesia terjadi karena berkat dan rahmat Tuhan Yang Maha Esa. Artinya, Indonesia terbentuk oleh karya manusia dan peran Allah. Maka pemerintah sebagai penyelenggara negara mengemban mandat rangkap, yaitu dari Tuhan dan dari rakyat. Bagaimanapun juga pemerintah harus bertanggungjawab kepada keduanya.

Berdasar ketaatan pada Allah, umat Kristen mengemban panggilan untuk berpartisipasi bahkan proaktif. Di mana pun, setiap umat Kristen perlu kritis mengamati dan siap mengoreksi segala yang bertentangan dengan undang-undang. Dorongan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, misalnya, bukanlah sekadar tindakan ‘ikut campur’ dalam urusan ketatanegaraan. Gereja adalah lembaga keagamaan dan bukan partai politik. Dengan demikian, kapan pun dan dimana pun gereja memposisikan dirinya untuk tidak terlibat dalam politik praktis. Dengan demikian, upaya gereja untuk ikut menegakkan keadilan dan kebenaran juga samasekali bukan sikap ‘oposisi’ yang umumnya memiliki maksud terselubung. Sebaliknya, hal ini justru merupakan perwujudan dari sikap partisipatif warga negara terhadap bangsa dan negaranya.

Tiga tahun lalu (Medio Pebruari 2008), GKI diperhadapkan pada pilihan yang sulit berkaitan dengan IMB gereja di Taman Yasmin. Betapa tidak, IMB yang diterbitkan walikota pada pertengahan 2006 itu dinyatakan dibekukan hanya karena Pemda merasa tergangu oleh demo pihak tertentu yang merongrong kebijakan penerbitan IMB itu. Padahal IMB tersebut sudah diupayakan lebih dari 4 tahun (2002-2006). Pilihan sulitnya ialah untuk menanti suasana kondusif atau membawa persoalan IMB GKI di Taman Yasmin ke ranah hukum?

Sebagian anggota Majelis Jemaat memandang gagasan itu tidak menyelesaikan masalah tetapi menambah ‘musuh’. Membawa persoalan ke ranah hukum berarti tidak berhadapan dengan pihak yang kontra terhadap pembangunan gereja. Mengapa koq malah berhadapan dengan pemerintah? Pendapat seperti itu wajar muncul di GKI yang tidak terbiasa berseberangan dengan pemerintah atau aparat negara. Hal yang tak kalah penting ialah sikap pesimis, yang tidak siap untuk menerima kenyataan. “Buat apa mengantongi selembar surat keputusan, kalau rumah ibadah tetap tidak bisa dibangun?” Sebagian lagi menyatakan alasan praktis, karena tidak punya SDM dan dana untuk berperkara.

Dalam situasi itu ada yang berpendapat jernih. Pertama, pembekuan ini merupakan kekeliruan yang harus diluruskan. Mendiamkannya berarti ikut menyetujui, dan ini adalah sebuah dosa di hadapan Tuhan. Kedua, negara kita menganut hukum positif. Kalau dalam kurun 90 hari pembekuan tersebut tidak direspons maka itu dipandang sebagai persetujuan. Dalam terang pemikikiran itulah GKI menempuh jalur hukum untuk menuntaskan persoalan pendirian gereja di Taman Yasmin. Pilihan ini diambil sebagai proses pembelajaran bagi semua pihak, khususnya bagi warga gereja untuk berpartisipasi menyatakan suara nabi bagi ibu pertiwi.

Ada dua pertanyaan yang harus dijawab sebelum membawa persoalan IMB GKI di Taman Yasmin ke ranah hukum. Pertanyaannya ialah: apa yang diperjuangkan? Tentu kita sepakat untuk memperjuangkan kebenaran. Ini adalah ajaran agama yang seharusnya diamalkan. Artinya, yang dilawan adalah ketidakadilan dan kesewenang-wenangan. Dengan demikian, yang kita lawan bukanlah person (Pemda, aparat negara, atau pihak yang belum sependapat) melainkan persoalannya. Dalam hal ini, persoalan ketidakadilan, khususnya intoleransi beragama, masih terjadi di depan mata.

Pertanyaan berikutnya, ialah: bagaimana cara kita berjuang? Ada empat pilihan jika kita berpikir menurut pola Jendela Juhari.  Pertama, memperjuangkan yang salah dengan cara yang salah. Kalau ini terjadi maka hasilnya cukup berbahaya. Mengingat yang diperjuangkan adalah sebuah kesalahan pasti hasilnya adalah kesalahan, sekalipun kurang efektif karena cara memperjuangkannya kurang maksimal. Kedua, memperjuangkan yang salah dengan cara yang benar. Bila pola ini dilakukan pasti hasilnya sangat berbahaya. Betapa tidak, sebuah kesalahan diperjuangkan secara terencana, terorganisir, dan dilakukan para profesional apalagi bila ditopang sarana penunjang yang memadai. Ketiga, memperjuangan yang benar dengan cara yang salah. Ini adalah pilihan yang lebih baik. Godaannya ialah menghalalkan segala cara untuk mewujudkan hasil. Tentu saja ini tidak patut secara norma dan etika agama sehingga dipandang kurang efektif. Keempat, memperjuangkan yang benar dengan cara yang benar. Apa artinya memperjuangkan yang benar dengan cara yang benar? Memiliki semangat yang gigih, melakukan dengan cara yang santun, tidak melakukan provokasi apalagi kekerasan, menghindari politik uang, membangun jaringan persahabatan seluas-luasnya. Selain itu, bukan hanya melakukan perjuangan riil, tetapi juga mengutamakan doa dan pemasrahan diri kepada Tuhan.

Tentu saja pola keempat ini merupakan sesuatu yang idial, yakni sebuah perjuangan untuk mencapai hasil yang baik dengan cara yang terpuji. Hal ini tentu tidak melanggar etika dan norma yang diajarkan agama dan dipandang patut oleh siapapun yang mendiami bumi pertiwi ini. Memperjuangan yang ideal pasti tidak gampang, sebagaimana pepatah mengatakan: ‘Seperti menegakkan benang basah’. Meskipun sulit, tapi bukan mustahil jika kita melakukannya bersama Tuhan!
Pdt. U.T. Saputra
13 Pebruari 2011

Suara Pembaruan 23 Desember 2011

NATAL GKI YASMIN:

INDIKATOR KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA

 
TINGGAL hitungan hari, umat Kristen sedunia memperingati Natal. Natal Kristen ialah datang-Nya Yesus Kristus untuk menebus dosa manusia. Sebulan sebelum Natal umat Kristen mulai mempersiapkannya. Masa persiapan itu disebut Adven, artinya menanti kedatangan Tuhan kembali sebagai Hakim yang Adil.

Seharusnya umat Kristen melalui masa Adven dengan sukacita, namun bagi jemaat GKI Yasmin, Bogor sukacita itu jauh api dari panggang. Betapa tidak, tahun lalu mereka merayakan Natal di trotoar depan gereja dengan penjagaan ketat aparat. Anehnya, hanya berjarak 5 meter sejumlah masa dibiarkan berteriak-teriak menyerukan umpatan yang jauh dari ukuran kesantunan.

Selama ini jemaat GKI Taman Yasmin Bogor tersingkir secara perlahan. Gedung gereja mereka disegel, sekalipun Mahkamah Agung dan Ombudsman Republik Indonesia menyatakan bahwa IMB yang dimiliki sah adanya. Dua tahun mereka beribadah di trotoar dan terus didesak dengan berbagai cara. Cap ‘minoritas’ dilabelkan, dan dengan cap itu mereka  harus rela dikorbankan.  Betapa tidak, untuk menggelar ibadah Natal sebagai hak azasi paling dasar pun mereka dipersulit bahkan diancam.
Natal 2010 setahun lalu bukan hanya dilalui dengan keprihatinan, tetapi juga menyisakan trauma mendalam, khususnya bagi perempuan dan anak-anak. Bagaimana dengan Natal tahun ini? Wajar jika jemaat GKI Yasmin berharap cemas: “Bisakah tahun ini kami melaksanakan ibadah Natal yang sakral?”

DI BETLEHEM KESELAMATAN DIMULAI

Natal adalah moment  bagi umat Kristen mengarahkan pandang pada karya penyelamatan Allah. Mesias, Sang Penyelamat, datang ke bumi untuk bebaskan manusia dari hukuman maut akibat dosa. Sejatinya Mesias adalah Allah yang mengosongkan Diri menjadi manusia. Ia datang ke dunia dalam ujud bayi yang lahir di kandang domba di Betlehem. Di kota kecil itu kasih Allah menitis ke bumi, kasih-Nya menyebar ke seantero dunia. Tak ayal, Betlehem yang mungil itu sontak menjadi perhatian banyak orang.

Sejak berabad-abad sebelum masehi para nabi terus menubuatkan kasih setia Allah kepada umat-Nya. Kitab para nabi menegaskan Sang Mesias datang membawa Syalom, yakni warta perdamaian berupa: ampunan bagi pendosa, sukacita bagi yang bersedih, sejahtera bagi si miskin, kebebasan bagi tawanan.

Menurut berita Injil, saat bayi Yesus lahir di Betlehem nubuat para nabi digenapi. Peristiwa Natal Kristus itu yang digemakan gereja hingga kini. Umat Kristen di segala penjuru dunia mengimani bahwa melalui Natal Kristus, Allah memberi  keselamatan.

BETLEHEM ABAD 21

Bagi umat Kristen kini, Natal adalah panggilan untuk menjadi kawan-sekerja  Allah. Setiap orang beriman diberi tugas hakiki untuk mewujudkan syalom, yaitu damai sejahtera yang didasari keadilan, sehingga tidak ada lagi orang yang hidupnya tertindas karena perlakuan sesamanya.

Penyegelan dan Pencabutan IMB GKI Taman Yasmin yang melawan hukum jalin-menjalin dengan sikap intoleransi beragama berupa pemutarbalikan fakta disertai tindakan-tindakan yang cenderung anarkis. Perlakuan buruk itu bukan hanya melukai hati jemaat, tetapi telah mencabik perasaan seluruh masyarakat Kristen bahkan semua orang yang menghargai perbedaan beragama. Terbukti bahwa masalah ini sudah jadi sorotan internasional.

Kalau dulu semua mata tertuju ke Betlehem, kini mata dunia tertuju ke GKI Taman Yasmin. Hingga ada yang mengatakan bahwa gereja kecil yang belum rampung dibangun itu seperti Betlehem di abad 21 ini. Seru dan sembahyang dipanjatkan dari berbagai gereja dan ruang doa keluarga, supaya Tuhan menyatakan kasih dan keadilan-Nya kepada jemaat GKI Taman Yasmin.

IBADAH SEBAGAI HAK ASASI  DASARIAH

Menghadapi beratnya beban hidup, manusia perlu lindungan Sang Maha Kuasa. ibadah adalah sarana perjumpaan umat beragama dengan Tuhan. Selain mawas diri dari dosa, juga untuk mendapat kekuatan iman dalam hadapi tantangan hidup. Tak dapat terbayangkan jika manusia tidak memiliki pegangan iman dalam hidupnya. Dapat dipastikan bahwa dunia ini makin kacau jadinya.

Bagi umat Kristen, gereja dan peribadahan yang dilaksanakan oleh anggota jemaat adalah sarana untuk berjumpa dengan Tuhan.  Indonesia adalah Negara yang Berketuhanan Yang Mahaesa dan Kekristenan adalah salahsatu agama yang diakui secara resmi. Dengan demikian menjalankan ibadah sesuai keyakinan pribadi merupakan hak azasi manusia yang paling dasar.

Selain oleh konstitusi, hal kebebasan beragama ini juga dicantumkan dalam Deklarasi PBB.  Meski demikian, hak tersebut bukan hadiah atau pemberian dari Negara, melainkan sesuatu yang melekat dalam jatidiri siapapun. Hak menjalin hubungan dengan Tuhan adalah pemberian Sang Khalik kepada tiap insan ciptaan-Nya.

UJIAN BAGI BANGSA

Siapa sangka, di bagian dunia ini ada warga negara tak bisa menyapa Tuhannya karena dihalangi warga negara lain? Sikap anti keragaman dan intoleransi beragama merupakan rongrongan yang serius bagi bangsa ini. Mengingat bahwa bila ini tidak selesai tuntas maka pola yang sama akan di gunakan di berbagai daerah lain. Nurani siapa tak teriris bila penistaan agama ini dibiarkan terjadi di negeri yang tengah gencar mempropagandakan 4 pilar berbangsa, yaitu: NKRI, Konstitusi, Pancasila, dan Bhineka Tunggal Ika. Sungguh ironis. Apakah persoalan serius bagi bangsa ini akan terus dibiarkan? 

Pemkot Bogor dan Pemprov Jabar agaknya tak serius selesaikan kasus GKI Yasmin. Kini ‘bola’ ada di tangan Pemerintah Pusat. Ini juga semacam batu ujian bagi Presiden dan pejabat terkait untuk memastikan di Negara Berketuhanan Yang Maha Esa ini tiap warga negara bisa bertemu Tuhannya.
Berlangsungnya ibadah Natal di GKI Yasmin merupakan indikator dari masih ada atau sudah hilangnya kebebasan beragama di Indonesia. Berbagai kalangan yang memiliki semangat nasionalisme sejati, telah menunjukkan keprihatinan.  Dapatkah ini tuntas diselesaikan? Tentu! Jika semua menundukkan diri pada konstitusi yang mengatur kebebasan beragama di negeri ini. (*)

Pdt. Ujang Tanusaputra, M.Si.
Pdt. GKI Jln. Pengadilan 35 - Bogor

Dari Ratapan, Menjadi Pengakuan Iman

Kisah Para Rasul 9:1–20
Mazmur 30:2–13
Wahyu 5:11–14
Yohanes 21:1–19

KEBAKTIAN PASKAH III
GKI Cimahi - 14 April 2013

Tujuan: Umat meyakini berita bahwa Yesus sungguh bangkit, terlepas dari segala upaya manusia untuk membuktikan kebangkitan-Nya secara ilmiah dan agar kita memahami bahwa berita kebangkitan Yesus membawa pengharapan dan kekuatan untuk menghadapi pergumulan hidup

1. Manusia umumnya sulit menerima keadaan sehingga lebih sering meratap ketimbang bersyukur. Di sebuah kota tersebutlah seorang ibu yang memiliki dua orang anak. Di segala cuaca, ibu ini selalu mengeluh kepada Tuhan. Ketika musim kemarau, ia ingat anak sulungnya yang berjualan payung. Sang ibu takut dagangan anaknya ini tidak laku sehingga setiap hari berdoa meminta agar segera datang musim penghujan. Anehnya, ketika musim penghujan datang, si ibu langsung teringat anak bungsunya yang berjualan cendol. Karena ia juga sayang pada anak bungsunya, maka setiap hari berdoa meminta agar segera datang musim kemarau supaya banyak orang kehausan dan minum es cendol. Alhasil, Tuhan bingung dan mengutus malaikatnya untuk bertanya kepada kita yang ada di sini. Bagaimana yang seharusnya dilakukan oleh umat beriman?

2. Tujuh orang murid Yesus semalaman mencari ikan tanpa hasil. Mereka adalah Simon Petrus,Tomas yang disebut Didimus, Natanael dari Kana yang di Galilea, anak-anak Zebedeus (Yakobus dan Yohanes), dan dua orang lainnya. Tiga diantara mereka adalah nelayan, berpengalaman yaitu Simon, Yakobus dan Yohanes. Danau Tiberiaas yang biasanya merupakanladang berkat karena terkenal banyak ikannya, malam itu ternyata tak memberikan berkat. Pada hari itu, fajar yang menyingsing sebagai simbol pengharapan juga tidak memberi harapan. Dalam kondisi ini wajarlah kalau mereka meratapi keadaan.

3. Dalam kondisi yang kurang baik dan mungkin diwarnai pula dengan ratapan dalam hati para murid, Yesus menampakan Diri. Ia menampakan Diri di tempat para murid-Nya mencari nafkah. Ini bukan sekedar membuktikan kebangkitan-Nya, tetapi juga menunjukkan bahwa Ia peduli pada kehidupan para murid. Sebagaimana kehadiran Yesus kepada para murid sesudah kebangkitan-Nya
maka Ia pun mau hadir dalam ruang juang kita pada masa kini. Ia mau menyapa kita dalam rumah tangga, di sekolah, di tempat kerja, dalam perjalanan, pelayanan, dan dimanapun kita berjuang.

4. Para murid pun mengalami berkat yang luar biasa. Itu terjadi bukan karena mereka telah bekerja keras di tempat yang tepat, di waktu yang tepat, atau karena berpengalaman, melainkan karena ketaatan kepada perintah Yesus. Menebarkan jala dari sebelah kanan perahu pada saat fajar mulai merekah merupakan tindakan sia-sia dari kacamata nelayanan berpengalaman, tetapi ketaatan pada Yesus membuat mereka melakukannya.

5. Yesus mengajak para murid merayakan berkat yang baru mereka dapat dengan menikmati sarapan secara bersama. Dalam kehadiran, berkat dan ucapan syukur itulah muncul pengakuan iman para murid kepadaTuhan Yesus yang bangkit. Tak ada berkat terlalu kecil untuk disyukuri, bahkan sepiring nasi dalam persekutuan di meja makan.

6. Yesus mengutus para murid, khususnya Petrus untuk melayani tanpa jeda. Menggembalakan domba milik Tuhan dari muda sampai tua, bahkan sampai mati demi memuliakan nama Tuhan. Seperti Petrus, Paulus juga dipanggil untuk melayani bangsa-bangsa, raja-raja, orang non Yahudi dan umat Allah. Bukan hanya kepada Petrus dan Paulus, Tuhan Yesus juga memanggil kita untuk melayani.

7. Pelayanan berarti memperjumpakan umat dengan Kristus yang Hidup sekaligus Sang Pemberi Hidup. Pelayanan juga berarti memperjumpakan umat dengan Sang Sumber berkat. Dengan demikian, pelayanan merupakan sebuah upaya menolong umat untuk mengubah ratapan menjadi pengakuan akan kehadiran Tuhan dalam hidup mereka. Amin.

Pdt. U.T. Saputra